Oleh : Silka Shafanisa, S.Psi

Ini tahun ke delapan saya bekerja di lembaga pendidikan. Surprisingly, saya bisa enjoy di dunia ini meski sangat bersebrangan dengan minat saya ketika saya di kampus. Bahkan salah satu matkul Psikologi Pendidikan harus saya ulang karena nilai yang kurang memuaskan. Buat saya bekerja di ranah pendidikan adalah suatu langkah keluar dari zona nyaman.

Bekerja di dunia ini sedikit banyak membuat pikiran saya terbuka tentang bagaimana rumitnya sistem pendidikan di Indonesia. Saya paham betul bahwa challenge terbesar negara ini adalah SDM Guru yang berkualitas.

Berkaca pada pengalaman saya dulu saat SMA, saya pernah merasakan bagaimana belajar didampingi guru berkualitas adalah anugerah terbaik yang pernah saya rasakan. Thankyou Mom and Dad for your efforts. Orangtua saya rela berinvestasi untuk saya semata-mata agar saya merasakan dunia belajar yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Saat itu, saya sekolah di sebuah Sekolah Negeri dengan kondisi menengah dari segi peringkat di Kota Bandung. Namun, orang tua saya mengirimkan saya belajar di sebuah pusat bimbel di Kota Bandung yang harganya lumayan pricey saat itu. Dan disanalah saya membuka cakrawala, bahwa pendidikan itu memang harus mahal.

Sebuah tempat bimbel terkenal di Kota Bandung yang terletak di dekat Taman Lalu Lintas menjadi saksi bagaimana saya terkaget-kaget seperti masuk ke dalam dunia baru. Disana saya bertemu Bapak / Ibu Guru pengajar yang skill mengajarnya sangat berbeda dengan Guru di sekolah saya. Mereka adalah guru-guru terpilih dari sekolah favorit di kota saya. Suatu hari, salah satu guru bimbel berkata pada saya “Silka, karena kamu sangat tidak menyukai matematika, saya akan titipkan kamu ke kelas platinum yah, supaya kamu lihat bahwa kamu akan merasa rugi jika masih memiliki mindset itu.” Kelas Platinum merupakan salah satu kelas VIP di tempat bimbel ini. Siswanya hanya 10 orang dan diisi dari sekolah-sekolah favorit. Long-short story, aku bergabung di kelas Platinum untuk pertama kali. WOW~ kok bisa sebeda ini kataku dalam hati. Norak!

Saat itu, saya bersama teman saya hanya diam menganga melihat perilaku teman-teman di kelas Platinum. Bagaimana bisa mereka se-enjoy ini dalam belajar di kelas. Padahal itu pelajaran matematika. Ketika guru mengumpan soal, mereka berlomba-lomba ke depan untuk menjawab soal. Saya berusaha SKSD dengan salah satu anak Platinum yang background pendidikannya dari sekolah kristen yang sangat populer di Kota Bandung.

“Hey, kok kamu ga maju?” tanyaku SKSD padanya

terus dia menjawab, “ngga apa-apa, aku kasih kesempatan buat temen-temen yang lain.. aku udah bisa ngerjain soal ini.”

Saya bingung, maksudnya apa? Bukannya kalau bisa menjawab itu maju.

Ternyata budaya di kelas Platinum ini, mau dia bisa mau dia tidak bisa, mereka akan tetap maju. Ketika di depan dan salah, itu adalah cara mereka belajar.

Saya terkaget-kaget, ada ya budaya seperti ini? karena yang saya rasakan di sekolah saya, jika ditanya saya akan menunduk paling nunduk supaya tidak ditunjuk, dan saya akan ditertawakan jika saya maju dan salah menjawab.

(Another) Surprisingly thing is the way the teachers teach. They are really humble, really patient, and know about our obstacles very well. Tidak menjudge, tidak memaksa, dan bisa memberikan opsi-opsi yang berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya.

Sekembalinya dari kelas platinum saya Kembali ke kelas saya di 3IPA-S20 (kelas 3 IPA- Silver – Ruang 20) teman-teman bertanya pada saya bagaimana experience belajar di kelas VIP? stress? dan harus saya katakan “aku culture shock wkwkwk”

Diatas langit, ada langit. Saya tak pernah menyangka bahkan di gedung yang sama kita bisa mendapatkan fasilitas yang berbeda hanya karena kita berbeda strata sosial haha..

Simply speaking, jika kita bicara tentang pendidikan yang berkualitas, tidak ada ruginya mengejar sesuatu yang beyond. Jangan pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki saat ini.

Last, i wanna sharing about what i read. Sebuah buku berjudul 100 Good Schools (Jack Framier, dkk).

Within the category of curriculum or programs, the largest subcategory of criteria had to do with providing for students needs. Typical criteria were : meets the needs of all students; has an individualized approach; and recognizes individual differences.

Apakah saat ini guru-guru di Indonesia kurang bisa memperhatikan semua siswanya? Jawabnya bisa ya, bisa tidak.

Apakah saat ini guru-guru di Indonesia lack of skill? bisa ya, bisa tidak.

Satu hal jawaban yang pasti, kerangka pikir menjadi guru di Indonesia tidak bergengsi seperti di luar negeri, yang memang diposisikan seperti seorang dokter dan ahli hukum. Di Indonesia menjadi guru bukanlah suatu kebanggaan alias biasa saja. Padahal menjadi guru adalah title paling terhormat. Karena ilmu dari guru tidak akan pernah kadaluarsa.

Indonesia butuh sistem untuk meningkatkan kualitas SDM rakyatnya dengan meningkatkan gizi. Ini sudah mengakar. Teman-teman saya di kelas platinum, memiliki bekal yang sangat mumpuni digunakan untuk berfikir. Disana kotak bekal mereka diisi, karbo yang cukup, protein yang banyak, serat yang seimbang, dan vitamin dari buah.

(nb : saya menuliskan tulisan ini sebelum ada kampanye Makan Siang Gratis yah haha tapi begitulah kenyataannya, Indonesia kurang gizi dan kurang literasi. banyak sekali ya PR nya haha)

Anak-anak dengan gizi yang mumpunilah yang harusnya bisa menjadi guru. Menjadi sosok yang ideal, yang basic needsnya sudah terpenuhi. Sebaik apapun kurikulum di Indonesia, jika SDM tidak bisa menurunkan ke ranah teknis, dan sulit diimplementasikan oleh orangtua, semua akan sia-sia. Mental block dan merasa cukup puas dengan apa yg sudah didapatkan. Semoga saja Indonesia terus meningkatkan kualitas kehidupan agar calon-calon guru dapat mendapatkan kesejahteraan yang layak. Bekerja menjadi guru adalah panggilan hati maka hanya jiwa-jiwa yang penuh dengan keikhlasan yang pada akhirnya dapat melahirkan generasi-generasi penerus bangsa.

Wallahu’alam bissawab.

#artikel #pendidikan